Buku Tentang Wartawan Koboi

Cover Buku Wartawan Koboi

Kaoem pewarta, alias wartawan, tak sendirian ketika martabat dan kehoramtan profesinya terkoyak. Terutama di sebuah negera bernama Indonesia. Doeloe para jurist, alias advokat, atau kini tenar dengan nama kawak: pengacara, mengenal prinsip Nobelty Profession (profesi bermartabat). Tapi kini? Cukuplah dengan mengutip bahasa gaul yang benar-benar mendekati fakta: pengacara membela yang bayar, bukan yang benar.

Daftar “sebuatan buruk” juga melekat ke dunia profesi lain (yang dari sononya sebetulnya mulia). Bahkan para dokter yang mengagungkan sumpah hipokrates pun kini tak lepas dari sinisme nyinyir. Gara-gara terlalu sering skandal medis bermunculan. Juga ulah sejumlah praktisi medik yang melakukan mal praktek. Tapi ingatan orang terhadap profesi ini tak jauh dari “bayaran yang kelewat mahal” (agaknya, baru para dokter yang mendapat tamparan hebat dari publik, ketika fenomena Koin Prita mengalami kegemparan meluas).

Jangan tanyakan lagi untuk citra para politisi —-karena sekalipun profesi terakhir ini bisa saja penuh dedikasi, tetapi publik terlanjur hilang selera untuk sekedar member apresiasi minimal. Begitu pula wilayah atau objek kehidupan lain yang digeluti para professional, seperti para artis di dunia hiburan, olahragawan, budayawan, atau bahkan agamawan. Masing-masing punya sebutan minor sendiri-sendiri.

Namun mari buka dokumen baik-baik. Tak ada satupun dari dunia profesi yang memiliki sebutan negative begitu panjang, kecuali untuk para wartawan. Dan rupanya, istilah pahit dan kurang hormat terhadap joeroe warta itu bukan hadir belakangan, melainkan eksis di jauh-jauh hari. Meski, tentu saja, di awal kehadirannya, para wartawan juga “sempat” menjadi profesi mulia. Bertabur dengan para pengabdi yang tulus, cerdas, dan terpatri sebagai pahlawan bangsa. Siapapun tak salah bila menyebut bahwa hampir seluruh “aktor utama pejuang kemerdekaan nasional” berlatar belakang jurnalis. Tidak Bung Karno, tidak bung Hatta, tidak Bung Sjahrir, tidak juga Tan Malaka… semua!

CNN atau BBC?
Bahkan para tukang ketik di Kantor Desa terpencil pun tahu, bahwa jika wartawan datang, mereka jauh lebih aman bersembunyi. Karena kebanyakan adalah Wartawan Bodrek. Sementara, Pak Polisi di Kantor Polsek Kecamatan, sering ngedumel karena diganggu WTS (Wartawan Tanpa Surat Kabar).

Sementara orang-orang penting (atau setengah penting, atau malah yang merasa seolah-olah orang penting), yang tinggal di perkotaan, tentu akrab benar dengan sebutan berikut: Wartawan CNN (Cuma Nanya-Nanya), wartawan BBC (Bolak-Balik ), wartawan KOMPAS (kompas sana, kompas sini, alias memeras di mana-mana).

Belakangan, setelah Ilham Bintang sukses melahirkan budaya gossip menjadi bisnis raksasa (via sajian infotainment), lahir lagi genre baru para pencari berita brengsek (sic!). Merekalah yang bermodal microphone, kamera, dan kedunguan terhadap etika jurnalistik. Para selebritis sering gerah. Patro Patrio pernah meletupkan pistol. Nicky Astria, meski menangis pilu, tetap dipaksa dengan rentetan pertanyaan. Luna Maya juga pernah bentrok. Dan terakhir, Akhmad Danny, pentolan Dewa 19, terseret kasus bogem mentah terhadap pemburu gossip dari televisi.

Paragraf barusan, sungguh menjadi keganjilan tersendiri bagi profesi jurnalistik. Sebagai sebuah bidang kerja manusia beradab, para jurnalis terikat etika, butuh keterampilan, terdidik, dan paling penting adalah bekerja professional. Sebentar dulu… kata professional adalah sejatinya mencerminkan mereka yang bekerja karena dedikasi, punya idelisme, dan tak semata-mata mengejar duit.

Berkaca pada kategori itu, para pemburu gossip sama sekali bukan jurnalis atau wartawan. Mereka hanya terampil dalam menindas hak-hak orang lain —nara sumber yang sudah menyatakan no comment, tetap saja didesak. Jasa mereka adalah, yang paling menonjol, memelihara tabiat buruk anak manusia, yaitu saling membongkar aib. Lagipula, jika sepakat dengan definisi dari AJI (Aliansi Jurnalis Independen), wartawan adalah mereka yang bekerja pada lembaga media. Sementara para pemburu gossip, dibayar oleh dan bekerja untuk Rumah Produksi (Production House).

Sudah jelek, profesi mirip wartawan itu (yaitu pemburu gossip) juga tak selamat dari cap buruk dan olok-olok. Misalnya, seburtan Wartawan Cek dan Giro (bukan Cek dan Ricek, karena mereka memojokkan narasumber untuk meminta bayaran). Duh…

Crowded
Semua olok-olok, cap buruk, istilah jelek, dan sebutan tak hormat terhadap para pengabdi publik (untuk wartawan yang penuh dedikasi dan punya etika kerja), tak hanya berlaku di kalangan masyarakat awam. Sebab para akademisi dan intelektual sekalipun, punya kreativitas sendiri dalam menjerumuskan “nama baik” para pewarta.

Dulu, Rosihan Anwar, karena kaget melihat fenomena para wartawan masa kini, menyebut Crowded Journalist, alias wartawan kerumunan. Bekerja bergerombol seperti beri-beri di padang rumput. Pihak lain, ada juga yang memakai frase Jurnalis Hotel, hanya mondar-mandir di loby hotel. Tak kurang memiriskan adalah ini: Jurnalis Alkohol, yang dipopulerkan Mantan Menteri Penerangan Era Jenderal Soeharto, siapa lagi kalau bukan Harmoko. Pak Menteri berambut rapi ini menyebut para wartawan brengsek seperti pemabuk. Karena tak tahu etika. Menulis seenaknya. Dan jika bertanya, merocos tanpa arti. Bisa dibayangkan kualitas seperti apa berita yang dihasilkan wartawan seperti ini. Dalam bahasa akademik, jurnalis alcohol ini adalah orang-orang yang bekerja di Koran kuning (Koran yang isinya, kriminal dan sadism melulu).

Sedangkan buku ini, mengingatkan kembali kepada kita tentang ulah wartawan yang tak bisa dibedakan dengan kelakuan Debt Collector atau Preman Terminal. Benar-benar preman memang, karena latar pendidikan tak jelas, korannya juga tak jelas, tapi isi beritanya jelas: hantam sana, ancam sini. Biasanya, korbannya adalah para pejabat bermasalah. Wartawan tipe ini, disebut Wartawan Koboi.

Namun secara keseluruhan buku ini tak berbicara tentang ulah para wartawan yang kacau balau itu. Tetapi yang menarik, justru menggambarkan suasana para jurnalis pada dua dekade lampau, sekitar akhir 80-an hingga medio 90-an. Pengaranya sudah wafat. Tetapi ia berharap bahwa tradisi buruk para wartawan koboi bisa berakhir. Sayang, harapannya itu jauh panggang dari api. Dunia profesi juru warta sekarang ini malah lebih mengerikan…

Informasi Detil Buku:
Judul: Wartawan Koboi, dan Corat Coret Lainnya
Penulis: Arsal Alhabsi
Penerbit: Mitra Zaman, Desember 2010
Tebal: 320 halaman
ISBN: 978-979-99304-2-2

//

5 pemikiran pada “Buku Tentang Wartawan Koboi

Tinggalkan Balasan ke ganesh Batalkan balasan